9 TAHUN DI SAN FRANCISCO

Kamis, 14 September 2023

Siapa yang ingin pindah ke Amerika Serikat? 


Di era Tik Tok dan Threads ini, kami rasa tidak banyak lagi yang tertarik untuk bermigrasi; bahkan sedikit saja orang yang mau untuk sekadar berkunjung di saat liburan. 


Fenomena ini juga terjadi dengan green card lottery, di mana terjadi penurunan peserta hingga 46% untuk DV 2021 dibandingkan dengan sebelum pandemi (berdasar statistik dari travel.state.gov)


California Superbloom di Lands End, San Francisco

Hal yang sangat wajar kalau dihubungkan dengan masifnya persebaran video "menakutkan" tentang AS: mulai dari aksi kekerasan terhadap warga keturunan Asia (Timur) sejak awal pandemi hingga ratusan kasus penembakan di berbagai sekolah. 


Belum lagi berita tentang penutupan berbagai pusat perbelanjaan di San Francisco plus video penjarahan toko-toko.


Kami sudah biasa diberondong pertanyaan soal video viral atau aneka pesan WhatsApp yang tersebar di Indonesia tentang situasi "mencekam" di negara adidaya ini. Biasanya pihak yang bertanya akan melanjutkan dengan "apa masih betah tinggal di sana".


Tentu saja kami masih betah. Internet dan media sosial seringkali berbeda jauh dengan kenyataan.


Semuanya kembali kepada perspektif kita memandang hidup ini. Agak filosofis, tapi cukup akurat untuk menjelaskan sikap kami.


Apakah Anda memilih untuk fokus pada hal-hal buruk sehingga mengabaikan keindahan di sekeliling Anda? Atau, bisa kah Anda melihat keindahan dan kebaikan di antara hal-hal buruk? 


Nasi Uduk Komplit

Apa kebaikan yang kami lihat? Soal yang sederhana saja, ragam makanan. Bumbu dan bahan baku khas masakan Indonesia mudah ditemui di San Francisco, tempat kami tinggal. Mudah sekali untuk menikmati nasi uduk atau sayur asem. 



Hal lainnya, kami punya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi yang jauh lebih baik dengan tinggal di San Francisco. Seusai bekerja, antara Senin sampai Jumat, kami bisa melepas lelah di pantai yang jaraknya hanya 15 menit berkendara.


Dalam skala yang lebih besar, kesempatan terbuka lebar di Amerika Serikat. Banyak perusahaan asal AS punya CEO yang asal-usulnya dari keturunan imigran (bukan berkulit putih), misalnya Microsoft, Google, dan Nvidia. 


Sistem sosial yang memungkinkan anak imigran menjadi pucuk pimpinan, punya kelemahan dari sisi ketertiban dan keteraturan. Tapi tentunya dampak negatifnya jauh lebih kecil dari sisi positifnya.


Dari 121 kilometer persegi luas total kota San Francisco, daerah Tenderloin yang sering menjadi sorotan itu (pusat kaum tunawisma) luasnya tidak sampai 1 km persegi. Apa kita mau berkutat dengan keburukan di 1 km persegi itu atau memilih untuk menghargai keindahan dan kebaikan yang ada di 120 kilometer persegi lainnya?


Jika meminjam analogi Alphonse Karr dari tahun 1853: "Let us try to see things from their better side: You complain about seeing thorny roses bushes; Me, I rejoice and give thanks that thorns have roses".


Kami memilih untuk menghargai keindahan bunga mawar, bukan mengeluhkan tangkainya yang berduri.


Tautan cerita lainnya:


© ceritasf 2017. Diberdayakan oleh Blogger.
Back to Top